Hari yang Tidak Pernah Kita Duga

Hari yang tidak pernah kita duga

"Daffa, seminggu kemarin kamu ketemu siapa aja?" tanya kakak saya yang merupakan seorang perawat.

Pertanyaan soal siapa saja orang yang saya temui sebetulnya pertanyaan yang lazim dikeluarkan untuk men-tracing ketika seseorang sudah di duga terkena virus COVID-19.

Kakak saya bertanya seperti itu karena sekitar 10 hari yang lalu saya terkena demam tinggi. Mungkin ia curiga kalau saya sudah terkena virus corona. Tapi saya bilang kalau saya hanya bertemu dosen dan beberapa teman saya di kampus.

Diluar itu tentu saja saya pergi ke beberapa tempat lain, ke minimarket, ke tempat makan, ATM, SPBU. Sudah. Saya tidak pernah pergi ke tempat-tempat keramaian seperti yang sedang di himbau oleh pemerintah.

Namun nampaknya kakak saya belum percaya. Keluarga saya pun parno. Seorang dokter mengecek kesehatan saya dan mengatakan kalau saya tidak positif corona, tapi positif DBD. Kecurigaan itu akhirnya terpatahkan. Walaupun tetap merasa khawatir karena saya terkena penyakit yang serius.

Lantas kakak meminta saya rawat inap di rumah sakit. Tapi saya menolak. Saya memilih bedrest saja di rumah. Dan itu bukan masalah karena pada dasarnya pengobatan utama orang yang terkena DBD adalah istirahat total dan menjaga pola makan.

Beberapa waktu setelah itu, saya menyaksikan berita ada beberapa orang yang di vonis DBD, tapi setelah itu dinyatakan positif corona. Tentu saja seketika saya cemas bukan main.

Keluarga saya pun ikut cemas. Akhirnya, selain mengonsumsi obat-obatan yang sudah di resepkan dokter, saya pun di suruh mengonsumsi berbagai makanan yang bisa meningkatkan imun atau daya tahan tubuh.

Di hari ke-5, demam saya tak kunjung turun. Ditambah lagi kepala saya sangat pusing. Dan pusingnya tidak hilang meski sudah mengonsumsi obat-obatan. Saya hanya bisa terbaring di tempat tidur. Tidak bisa melakukan apa-apa karena badannya saya juga sakit dan lemas.

Saya kehilangan nafsu makan. Bahkan seharian saya hanya minum air putih saja. Buka smartphone terlalu lama juga bikin kepala saya makin pusing. Akhirnya saya hanya bisa tiduran. Bangun sebentar dari tidur saja rasanya, kepala berputar-putar. Tidur pusing, bangun pusing. Serba salah.

Saya hanya bisa diam. Melamun dan tidak melakukan apa-apa. Saya merasa seperti orang yang hidup segan, mati tak mau. Sampai ketika di hari ke-8 badan saya mulai pulih. Saya mulai bisa makan. Saya mulai bisa bangun tidur meski kepala masih keleyengan.

Saya coba duduk di halaman rumah, berjemur karena sudah seminggu saya tidak terkena sinar matahari.

Selama saya sakit, banyak rencana yang batal. Banyak hal yang sudah saya susun sedemikian rupa malah tidak terjadi. Hal ini diperparah ketika himbauan social/physical distancing diberlakukan.

Saya pun sadar bahwa mobilitas orang-orang pun berkurang. Anggota keluarga saya yang harusnya bekerja, terpaksa berdiam di rumah. Meski diberi keringanan oleh perusahaan, tapi hal ini mengurangi gerak-gerik mereka untuk produktif.

Selama 10 hari bedrest, saya tidak menulis. Padahal komitmen menulis itu sudah saya canangkan setiap hari. Pernah terpikir untuk mengganti hutang menulis itu di kala saya sehat seperti halnya hari ini.

Tapi saya tidak bisa membayangkan saya menulis 10 tulisan sekaligus dalam waktu dekat. Jadi 10 hari tidak menulis itu, saya anggap sebagai toleransi yang boleh diabaikan.

Saat saya sakit, saya merasa saya gagal dalam merencanakan sesuatu. Saya tidak pernah punya plan B atau C. Ketika membuat rencana, saya hanya berpikir bahwa plan yang saya buat pasti bisa saya lakukan. Kalau pun tidak, saya yakin saya bisa menggantinya di lain hari.

Pelajaran apa yang bisa saya dapatkan selama saya sakit? Banyak. Dari keparnoan kakak saya soal Corona membuat keluarga saya sangat aware -dengan kesehatan saya.

Dan sebetulnya, sakitnya saya di dukung oleh pola hidup saya yang berantakan. Saya rasa itu sangat berpengaruh pada kondisi tubuh saya yang mudah terserang penyakit. 

Setelah saya sehat, saya mulai menjaga makanan saya. Di rumah juga mulai aware sama kebersihan kamar saya yang memang seringkali berantakan dan bisa jadi sarang nyamuk.

Saya belajar  bahwa dalam hidup kita harus selalu siap pada banyak kemungkinan buruk. Setiap hari kita harus siap pada pada banyak kejadian yang tidak pernah kita duga sebelumnya, sebab apa yang kita kerjakan tak akan selalu berjalan mulus. Kita merencanakan plan A, seharusnya kita buat plan B atau plan C-nya sehingga rencana itu tidak jadi berantakan.

Bayak hal yang tidak pernah kita sangka-sangka bisa terjadi dalam hidup kita. Isu Corona yang melanda dunia atau sakit DBD yang saya idap tidak pernah terpikirkan akan datang begitu saja dalam kehidupan kita.

Sekarang, saya sadar bahwa sebuah rencana itu tidak boleh terlalu kaku karena dalam kehidupan ini semua rencana bisa saja berubah. Alam beserta waktu yang kita punya tidak sepenuhnya berpihak pada kita.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.