Berawal dari Berandai-Andai


Setiap dalam perjalanan ke suatu tempat, saya jarang buka smartphone atau menyumpal telinga saya dengan earphone. Saya tidak begitu suka mendengarkan lagu di perjalanan. Saya lebih memilih diam dalam keheningan sambil melihat keadaan kendaraan berlalu lalang.

Saya senang melihat pemandangan dari kaca mobil atau menyaksikan lalu lintas dibalik helm motor. Selama di perjalanan, ada banyak hal yang saya pikirkan dan pikiran itu jarang terlintas saat saya sampai rumah.

Maka dari itu, saya merasa di perjalanan merupakan waktu yang istimewa untuk memikirkan sesuatu. Kadang pula, dalam perjalanan saya berandai-andai. Ingin ini, ingin itu, banyak sekali.

Dari hobi berandai-andai itu kemudian saya tanamkan dalam pikiran agar saya selalu ingat tentang mimpi saya. Saya berusaha mengubah berandai-andai itu jadi kenyataan. Bukan hanya sekali dua kali. Saya mengandai-andaikan mimpi yang sama hampir setiap hari.

Beberapa tokoh-tokoh yang saya idolakan membuat saya semangat untuk mengejar kesuksesan mereka. Seringkali saya berandai-andai bahwa suatu saat saya akan ada di posisi mereka. Jadi inspirasi dan memberi dampak positif bagi banyak orang.

Saya berpikir, mungkin saya bisa melakukannya. Saya ingin mengejar segala ketertinggalan saya. Dalam hal apapun. Intelektual, karir, bahkan sebatas relationship. Saya ingin meniru mereka yang telah berhasil mewujudkan mimpinya.

Bagaimana caranya?

Saya tahu caranya tidak mudah. Ada seorang penulis yang suatu waktu  mengatakan, butuh waktu 10 tahun untuk ada di posisinya sekarang. Saya hanya bilang "waduh" kenapa bisa selama itu?

Tapi saya percaya kalau pencapaian tinggi itu tidak yang instan. Apalagi saya tahu kalau ketekunan mereka selama bertahun-tahun adalah bayaran yang setimpal dengan kesuksesannya sekarang.

Di atas kendaraan yang saya tumpangi, saya sering melihat pedagang asongan, topeng monyet, atau penjual koran. Saya berpikir, apa mereka punya mimpi juga? Apa mereka sering berandai-andai sama seperti yang sering saya lakukan?

Saya yakin semua orang punya mimpi. Tapi melihat kondisi ekonomi mereka, mimpi itu mudah sekali pergi karena sudah terhalang oleh hal-hal mendasar yang harus lebih dulu dipikirkan. Jangankan bagaimana berandai-andai caranya menggapai mimpi, untuk makan saja sudah jadi beban.

Saya berkaca pada diri sendiri. Bersyukur karena kebutuhan pokok saya tercukupi. Saya tidak perlu berpikir lagi besok mau makan apa. Meski saya bukan terlahir dari keluarga yang sangat berkecukupan. Tapi saya merasa punya privilese untuk fokus pada mimpi saya tanpa perlu memikirkan mencari uang untuk sekedar makan saja.

Bagi saya, ada hal kecil patut di syukuri ketika seseorang ingin mengejar mimpi. Orang-orang seperti saya punya peluang lebih besar untuk mewujudkan mimpi. Sebab saya tidak terganggu secara ekonomi, keluarga saya masih lengkap, saya masih bisa kuliah setinggi yang saya mau.

Namun, tidak sedikit orang menyia-nyiakan segala keberuntungan itu. Akhirnya mimpi yang sebetulnya sudah diberi jalan seluas-luaskan malah di sia-siakan. Lalu bagaimana dengan saya?

Saya merasa jadi bagian dari orang-orang yang menyia-nyiakan keberuntungan. Tapi sekarang saya sadar untuk memanfaat keberuntungan yang saya punya untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Meski kedengarannya sudah terlambat, tapi itu lebih baik daripada saya tidak melakukan apa-apa.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.