Suka Politik



Saya mencoba mengingat-ngingat lagi, kapan pertama kali saya tertarik dengan politik. Sejauh yang saya ingat, ayah saya, sebagaimana ayah pada umumnya, sangat menyukai tayangan berita di Televisi (TV).

Setiap pagi ia menyalakan TV, memindahkan ke channel yang berisi berita pagi. Berita yang paling ia sukai adalah berita politik.

Selama berita berlangsung, mulut ayah tidak berhenti mengoceh mengomentari apa yang terjadi di TV. Nmpaknya, ayah kesal dengan beberapa orang yang sedang di wawancarai oleh seorang pembawa acara. Mereka menggunakan setelan khas orang kantoran; jas hitam, kemeja putih, celana bahan, dan sepatu pantopel.

Sepanjang acara, mereka berbicara dengan nada yang tidak santuy. Satu sama lain saling adu mulut. Berdebat namanya kalau kata orang sekarang mah.

Karena pada waktu itu saya masih SD. Saya tidak mengerti apa yang dibicarakan orang-orang di dalam acara tv tersebut. Jadi mohon maaf kalau saya tidak bisa merayu ayah saya untuk berhenti ngedumel.

Yang saya pikirkan hanya, bagaimana caranya saya bisa merebut remot TV dari ayah karena saya ingin segera menonton film kartun. Akhirnya, tidak ada cara lain selain menunggu acaranya selesai.

Menjelang remaja, saya masih belum tahu apa-apa soal politik. Dulu saya masih terjebak dengan tontonan drama kolosal Indosiar yang banyak naga-naga terbangnya.

Ditambah dengan sinetron TPI (yang sekarang jadi MNCTV) seperti si Entong, Ronaldowati, Kaos Kaki Ajaib si Eneng dan beberapa drama halu yang sudah jadi ciri khasnya. 

Saya masih belum memgerti dimana letak nikmatnya menonton hal-hal yang berhubungan dengan politik.

Namun saya membayangkan, mungkin bagi orang dewasa, berita politik di televisi sama seperti menonton acara kartun yang lucu dan menghibur.

Bedanya, anak-anak akan tertawa dengan film kartun, sedangkan orang dewasa cuma ngedumel dan marah-marah saat nonton berita politik. Jadi, dimana bagian menghiburnya?

Barulah ketika SMA, saya mulai tertarik dengan politik, terutama dengan berita-beritanya. Jokowi adalah tokoh politik yang pertama kali saya kenal. Sebab beliau lah yang paling sering muncul di pemberitaan kala itu.

Saya  rasa, sepertinya banyak orang akan setuju kalau saya mengatakan, sebagian muda-mudi saat ini, mulai mengenal politik pertama kali karena sosok Jokowi.

Dulu beliau sering dipersepsikan sebagai politisi sederhana dengan kebijakannya yang anti-mainstream. Ya walaupun setelah jadi Presiden, kebijakannya jadi kurang enak di dengar oleh sebagian orang, termasuk saya.

Pada waktu itu, politik praktis dikenal kaku dan ngejelimet. Tapi Jokowi kala itu muncul dalam kemasan politik yang santuy.

Kemunculan rekan duetnya, Ahok juga ikut mewarnai politik tanah air. Meski karir politiknya tidak semulus Jokowi. Ahok lebih banyak dipenuhi drama yang menyakitkan.

Selain karena gaya komunikasi politiknya yang beda dari yang lain, beliau mendapat stempel "double minoritas" yang membuatnya lebih mudah di singkirkan oleh embel-embel identitas.

Sedikit demi sedikit, politik semakin merwarnai pikiran saya. Beberapa tokoh politik mulai saya kenali satu persatu.

Saya jadi sering nonton tayangan politik, bukan saja dalam kemasan berita, tapi dalam konsep forum diskusi seperti ILC dan atau talkshow Mata Nazwa (yang dulu masih tayang di MetroTV).

Saya pun mengamati beberapa aktivis media sosial yang sangat konsen sekali dengan politik. Saya ikuti postingannya. Sesekali saya berkomentar.

Antusiasme saya terhadap politik semakin menggebu-gebu. Saya baru sadar, beginilah nikmatnya nonton politik. 

Menjelang kelulusan SMA, saya memutuskan untuk mendaftarkan diri ke universitas negeri yang ada jurusan "politik"-nya. Sebuah keberuntungan karena saya langsung diterima tanpa seleksi. 

Namun, jurusan berbau politik tidak semerta membuat saya senang. Dalam kehidupan kampus yang sebenarnya, politik lebih dibahas pada tatanan yang lebih teoritis. 

Saya baru sadar ternyata selama ini, apa yang saya suka dari politik adalah pertarungannya. Politik jadi semacam budaya pop yang menyebar ke anak-anak muda seperti saya. 

Kalau kata Pandji Pragiwaksono, orang-orang seperti saya adalah puber politik. Yakni mereka yang baru tahu politik yang sekarang-sekarang saja. Mereka tidak terlalu mengikuti sejarahnya.

Mereka hanya suka politik karena dianggap seru saja. Seru dalam arti ada konflik kepentingan yang kita sebagai masyarakat awam bisa menonton dan memilih siapa jagoannya. Politik bagi si puber politik ibarat pertarungan dua suporter sepakbola.

Meski dianggap minim dalam wawasan politik, tapi sebagian anak muda ini nampaknya paling menggebu-gebu bila.ada gerakan-gerakan sosial-politik. Mereka ikut berdemo. Ikut menandatangani petisi.

Dan tidak sedikit juga yang menjadi SJW (Social Justice Warrior) yang hobinya debat kusir di kolom komentar berita dan perang di media sosial demi membela tokoh politik idolanya. 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.