Netizen, Eksploitasi Media dan Kebohongan Afi

kebohongan afi
image via news.detik.com
Secara sederhana, Media adalah penyampai informasi. Informasi bisa didapat dari banyak narasumber. Masalahnya, media tidak bisa tahu apakah narasumber berbohong atau tidak. Media hanya bisa memberikan informasi dari mulut narasumber bukan dari hati narasumbernya. Jadi ketika seorang narasumber berbohong sekalipun, media tidak akan tahu. 

Media hanya akan memberikan informasi seusuai apa yang dikatakan narasumber. Media hanya menyampaikan informasi berdasarkan kode etiknya, bukan seperti tukang introgasi yang biasa mengancam narasumber bila ia tidak mau menjawab atau dirasa telah berbohong.

Dalam hal ini, fungsi media bisa bermanfaat, namun bisa juga menjerumuskan. Kita tidak bisa memastikan bahwa media bisa seratus persen netral karena keberpihakannya pada sisi komersial. Media tidak difungsikan untuk memiliki “perasaan” terhadap setiap pemberitaan, tapi dijadikan “alat” untuk meraup keuntungan. Sebab fungsi media ketika sudah masuk dalam komersialitas adalah mencari informasi yang berpotensi viral. Jika sudah viral maka potensi jumlah pembacanya akan besar pula. 

Berita yang berpotensi viral bisa dilihat dari banyaknya perbicangan netizen mengenai satu hal. Misalnya ketika netizen melihat ada kekaguman dari diri Afi yang merupakan seorang gadis 19 tahun dan terkenal karena tulisan ‘warisan’nya di Facebook. 

Banyak orang yang kagum dan bangga padanya. Mereka merasa seperti menemukan mutiara di dalam lumpur yang hitam. Karena disaat gadis seusianya lebih suka novel percintaan seperti Dilan dibandingkan buku Sosiologi Politik, Afi memilih untuk menjadi lebih kritis tentang hal-hal besar. Namun sayangnya ia tidak kuat menopang popularitas yang ada. Ada yang mengatakan ia tidak kuat dikritik, ada pula yang mengatakan ia belum cukup umur untuk mendapat popularitasnnya sekarang karena mentalnya masih mental ingusan.

Namun, kini kebohongan demi kebohongan terungkap. Setelah menjadi ‘ratu’ dimata banyak orang, sekarang ia berubah menjadi sosok antagonis yang menghalalkan segala cara untuk tetap menjadi ‘ratu’. Namun caranya yang tidak elegan itulah yang membuatnya justru semakin membuat dia terlihat (maaf) bodoh. 

Beberapa kali ia terpergok dengan tulisan ‘copy paste’nya yang ia akui sebagai hasil karyanya. Yang terbaru, ia membuat sebuah video kekecewaaan karena banyak yang membully dirinya. Sayang, video tersebut ternyata hasil ‘copy paste’ dari video seorang wanita bernama Catherine Olek. Hampir semua kalimat dalam video tersebut mirip dengan kalimat pada video Olek.

Kemudian, lagi-lagi Afi bikin gara-gara. Ia mengaku sudah mengenal Olek cukup lama. Tapi entah dari mana Catherine Olek, nama yang dicatut oleh Afi tersebut mengklarifikasi bahwa yang dikatakan Afi itu tidak semuanya benar. Akun Instagram yang menuliskan pemberitaan tentang Afi yang mengaku meniru video dari Olek tersebut, langsung diklarifikasi oleh Olek sendiri melalui akun Instagramnya, @xtcatlo:

"JUST TO BE CLEAR, I HAVE NOT BEEN IN FREQUENT CONTACT WITH AFI AND I DO NOT CONDONE ANY OF HER BEHAVIORS” (Biar jelas, saya tidak melakukan kontak secara intensif dengan Afi dan saya tidak memberi izin atas apa yang ia lakukan).

Bila kita lihat kebelakang. Afi sudah diundang diberbagai acara, forum diskusi termasuk di undang ke Istana Presiden. Tapi ketika kita tahu ‘borok’nya Afi kita sebagai orang awam kecewa. Kenapa wanita sekelas afi bisa mendapat tiket popularitas hanya dengan bermodalkan kebohongan?

Sekarang siapa yang patut disalahkan? Netizen yang lebay karena terlalu berlebihan menanggapi tulisan warisannya, Afi yang penuh kebohongan, kaum intelek yang polos, atau media yang sengaja mengekpolitasi pemberitaan Afi?

Netizen punya cukup andil dalam mengangkat Afi naik menuju polularitas. Tapi viral yang sebenarnya bukan dari netizen. Netizen atau warganet hanya sebagai pemicu. Tapi medialah yang paling berpengaruh dalam membesarkan nama Afi. 

Afi jelas pelaku yang paling salah karena melakukan banyak kebohongan pada publik. Kebohongannya itu tidak disadari oleh netizen karena terlanjur cinta dengan tulisannya (yang memang bagus). Media sebagai penyampai informasi mengeksploitasi pemberitaan Afi karena dianggap berpotensi viral.

Dengan kejadian seperti ini media nampak seperti yang patut disalahkan karena telah membesarkan seorang anak yang didorong untuk berenang sedangkan sang mutiara tidak bisa berenang. Tapi akhirnya terjadinya yang disebut ‘Korban media’. Dan korban media tidak mengenal batasan usia dan latar belakang seseorang. Dari anak SMP, kaum intektual macam dosen, professor sampai Presiden pun tertipu dengan Afi melalui pemberitaan yang eksploitasi. Kenapa mereka bisa tertipu? Karena Media dianggap sebuah kebenaran yang mutlak oleh banyak orang. 

Sebagai orang yang seumuran dengan Afi, kanda pun mungkin akan merasakan hal yang sama. Mendapat popularitas dalam semalam namun mental tidak kuat. Yang salah ia lantas mengalalkan segala cara untuk mempertahankan popularitasnya. 

Kita mengenal istilah semakin tinggi pohon maka semakin besar angin yang menerpa. Tapi pohon tersebut tidak akan rubuh karena ia sudah mengalami proses yang panjang dari pengamannya menjadi bibit, diberi pupuk, disiram air, dan diterpa angin-angin kecil. Hal itu membuat pohon terbiasa dan menjadi kuat setelah ia berada diposisi yang tinggi. Yang terjadi pada afi sekarang ia tidak mengalami proses seperti pohon tersebut. 

Afi ini hanya menjadi pohon yang tiba-tiba mejadi tinggi sekejap mata tanpa mengalami proses pohon yang sebenarnya. Akhirnya ketika ada tiupan angin yang besar ia tidak bisa menopangnya karena pohon tersebut belum bisa belajar dari tiupan angin kecil. 

Bagi kaum intelektual, Afi bisa menjadi contoh yang baik. Maka dari itu contoh baik ini memang harus diangkat dan diceritakan pada banyak orang. Namun contoh baik ini sayangnya diambil dari kebohongan yang ditutupi kebohongan.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.