Musuh Tak Terlihat yang Bernama Malas

Musuh tak terlihat bernama malas

Pernahkah kamu menyesal pada satu hal, kemudian esok harinya kamu menyesal lagi karena mengulang kesalahan yang sama?

Saya misalnya, menyesal karena sering tidur larut malam, tapi malam berikutnya saya tidur larut malam lagi, kemudian menyesal lagi. Terus saja seperti itu sampai pada satu waktu saya sadar ini harus segera dihentikan agar rasa penyesalan itu tidak datang kembali dalam diri saya.

Mudah? Tentu saja tidak. Ada beberapa kegiatan harus saya siasati. Misalnya, mengurangi waktu berlama-lama di layar smartphone. Saya pun harus menarik jam menulis saya lebih awal yang biasanya dilakukan tengah malam.

Dan itu sangat-sangat tidak mudah. Sampai sekarang saya masih dalam tahap trial and error. Ada satu malam dimana saya berhasil melakukannya, namun di hari lain gagal mengeksekusinya.

Kalau kata orang bijak bilang, tidak ada yang sulit dari mengatur waktu. Yang membuat sulit adalah kita yang tidak mau menyediakan waktunya.

Dari yang saya rasakan, semua hal bisa menjadi sulit jika kita terlanjur malas melakukannya. Terlepas apapun penyebabnya, seseorang kalau sudah malas, biasanya selalu cari-cari pembenaran.

Kesulitan saya dalam mengatur waktu itupun bagian dari pembenaran juga. Di tengah pandemi ini tentu saja semua orang, termasuk saya, pasti punya waktu luang yang banyak untuk melakukan banyak hal.

Tapi manusia memang pintar mencari-cari alasan untuk tidak melakukan satu hal yang produktif. Nyatanya kita pun tidak bisa keluar dari zona nyaman. Sebanyak apapun waktu luang yang ada, itu tidak membuat kita giat melakukan sesuatu.

Lantas, bagaimama menyelesaikannya? Tidak ada cara lain selain memaksakan diri. Perbaiki niatnya. Kumpulan semangat. Ciptakan alasan-alasan logis sehingga kalau kita tidak melakukannya, kita akan merasa bersalah.

Alasan saya menulis setiap hari meski dalan keadaan tidak mood sekalipun, adalah karena saya punya rasa bersalah yang tinggi kalau seandainya saya tidak melaksakannya.

Rasa bersalah itu tidak datang dengan sendirinya. Tapi sengaja di ciptakan. Rasa bersalah itu bermuara pada penyesalan.

Ada beberapa buku yang pernah saya beli. Entah sejak kapan saya membiarkan buku-buku itu tersimpan di rak tanpa saya baca.

Seingat saya, ada beberapa buku yang dibiarkan membusuk selama setahun lebih, baru saya sentuh isinya di awal BAB saja. Bukan hanya buku dalam bentuk fisik, beberapa ebook yang sudah saya unduh pun, hanya jadi koleksi di memori smartphone.

Itu terjadi karena saya selalu punya alasan untuk menunda. Saya banyak berkompromi dengann diri sendiri. "Udah, besok aja lagi. Kan masih ada hari esok."

Kemudian esok harinya, saya mengatakan pada diri saya dengan kalimat yang kurang lebih sama.

"Besok lagilah, besok lagi. Kalau ada hari esok, kenapa harus sekarang?" Sampai suatu ketika saya sadar, setahun sudah saya mengulang kalimat sesat itu dalam pikiran saya.

Yap, saya tahu, menunda adalah penyakit. Penyakit serius. Dan penyakit serius perlu di atasi juga dengan serius. Namun di sisi lain, sisi antagonis dari diri saya selalu mendorong untuk tetap bermalas-malasan.

Menyebalkan bukan? Lantas, siapa yang patut disalahkan? Orang lain? Tetangga? Gebetan? Mantan? Secret admirer? No!

Kesalahan harusnya ditunjukan pada diri sendiri. Seperti kata orang-orang bijak, musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri.

Malas itu hanyalah satu dari sekian banyak musuh kita. Masih banyak musuh yang ada dalam diri yang perlu di lawan.

Sayangnya, tidak semua orang mampu melawannya. Saya pun begitu. Saya perlu banyak belajar menghadapi musuh yang tak terlihat.

Musuh yang tak terlihat itu, bukan saja virus Covid-19. Tapi yang paling utama ada dalam diri setiap orang, yaitu malas yang berujung pada menunda-nunda sesuatu.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.