Usaha untuk Tidak Mengikuti Tren

Usaha untuk tidak mengikuti tren

Setiap ada tren yang muncul di media sosial, selalu ada pihak yang terbelah, antara mereka yang mengikuti tren dan mereka yang kontra. Yang kontra adalah mereka yang melihat tren sebagai kegiatan yang mengganggu.

Namun ada pula yang menganggap tren sebagai hiburan dengan dibuktikannya lewat meme yang bertebaran di internet. Ini terjadi pada banyak hal. Dari tren filter di instagram, tiktok sampai tren challenge until tomorrow yang baru-baru ini memenuhi feeds instagram saya.

Dalam banyak hal, saya tidak mengikuti tren. Saya hanya penikmat meme-meme yang mentertawakan tren yang muncul di media sosial. Tapi bagi saya itu sekadar jokes. Bukan hinaan atau bentuk kebencian karena sebetulnya setiap orang punya kebebasan mau ikut tren atau tidak.

Mereka yang tidak mengikuti tren pasti punya alasan-alasan tersendiri. Seperti halnya saya. Alasan saya tidak terlalu peduli dengan tren yang kekinian itu karena memang saya tidak tertarik dan saya tidak punya alasan yang membuat saya happy untuk mengikuti tren tersebut.

Saya mengerti, sebagian orang mengikuti tren karena mereka happy melakukannya dan saya tidak merasa hal itu salah juga. Hanya saja, saya merasa beberapa tren yang ramai dilakukan semua orang bukan sesuatu yang bagi saya menyenangkan. Jadi saya tidak terdorong untuk mengikutinya.

Seringkali yang saya lihat, orang-orang mengikuti tren karena ingin mendapat validasi bahwa mereka keren, lucu dan populer. Dan sekali lagi saya tidak menganggap itu salah atau buruk.

Namun, saya sendiri tidak punya keinginan untuk mencari validasi bahwa saya keren, lucu atau populer. Jadi tren yang dilakukan banyak orang tidak ada yang saya ikuti. Bukan berarti tidak ada ya, namun saya kira sangat kecil yang ingin saya ikuti.

Misalnya, ketika orang-orang sedang suka-sukanya dengan sebuah film, misalnya film A, saya pun ikut-ikutan menontonnya. Ketika ada makanan yang lagi hits, saya pun ikut mencobanya. Namun ketika tren Tiktok bermunculan, saya tidak mengikutinya. Sebab pertama, saya bukan orang yang senang tampil depan kamera. Kedua, saya tidak merasa tren itu bisa buat saya happy.

Ya, kata kuncinya ada di happy. Dalam mengikuti tren, saya selalu berpikir apakah tren ini bisa buat saya happy atau tidak. Dan batasan tentang mana yang buat saya happy atau tidak itu kadang relatif.

Saya tahu, orang-orang mengikuti tren karena mereka senang melakukannya. Dan kesenangan itu bisa didapat dari pujian atau sebatas like di media sosial. Dan wajar-wajar saja jika semua orang suka dengan pujian. Kita semua pasti senang jadi pusat perhatian dengan hal-hal yang kita lakukan di media sosial.

Bisa saja saya happy kalau saya ikut-ikutan main tiktok atau mengikuti games yang sedang tren sekarang. Tapi saya tidak mau melakukannya karena saya merasa saya punya pilihan lain untuk mencari kegiatan yang buat saya happy.

Untuk orang lain, joget-joget di tiktok merupakan rangka mencari validasi atas kesenangan yang mereka lakukan. Namun karena mencari validasi itu bisa dilakukan pada banyal hal, maka pilihan saya tidak jatuh pada tiktok, tapi pada hal lain seperti menulis.

Mencari validasi atau pengakuan itu sah-sah saja. Tapi bagi saya alangkah lebih baik kita memilah dan memilih mana validasi yang bisa meningkatkan skill yang ingin kita tingkatkan. Dalam kata lain, kita berusaha mencari kegiatan yang buat kita happy sekaligus bisa meningkatkan produktivitas kita.

Tidak ada yang salah jika kita mengikuti tren dengan tujuan bahwa kita keren, lucu dan lain sebagainya. Dan saya pun pernah ada di posisi dimana mengikuti segala macam tren itu sangat menyenangkan.

Tetapi saya berpikir bahwa tren itu tidak akan ada ujungnya. Jadi saya coba berhenti dan menahan diri untuk tidak mengikuti tren. Saya berusaha agar saya selalu merasa cukup dengan apa yang sudah punya sekarang dan berusaha menganggap bahwa tren yang terjadi itu biasa-biasa saja.

Misalnya ada tren fashion tertentu. Walaupun saya menganggap tren itu keren, tapi saya tidak akan memaksa diri saya untuk menyisihkan uang saya untuk membeli tren fashion yang banyak diikuti orang. Saya cukup bertahan dengan fashion yang saya punya.

Kalau perlu, jika saya merasa bahwa fashion yang saya gunakan jadul, saya coba mencari tokoh sebagai role model yang tetap bertahan dalam fashion lamanya. Itu akan membuat saya percaya diri untuk tidak mengikuti tren. Prinsipnya, masa saya harus ikut tren juga, toh role model saya saja tidak ikut-ikutan tren kok.

Itu baru dari fashion, dari tren lain pun saya akan melakukan hal yang sama agar usaha saya untuk tidak terlalu mengikuti tren benar-benar bisa saya praktekan. Saya cukup percaya diri dengan tidak mengikuti tren-tren media sosial. Kepercayaan diri itu muncul karena saya berpatokan pada orang-orang yang bagi saya hidupnya bisa lebih bahagia tanpa mengikuti tren sekalipun.

Pada dasarnya kita memang harus punya role model atau tokoh panutan yang bisa membuat kita percaya diri untuk tidak mengikuti tren. Prinsipnya, untuk apa kita cape-cape mengikuti banyak tren, toh tokoh yang kita jadi panutan saja hidupnya bahagia dan fine fine saja meski jarang mengikuti tren yang ramai di ikuti banyak orang.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.