Mencari "Teman" Ngobrol di Internet

Ngobrol

Circle pertemanan saya kecil dan kurang menarik, jadi untuk mencari teman bertukar pikiran rasa-rasanya agak sulit. Beberapa teman terlihat kurang tertarik dan tidak tahu soal topik yang biasa saya obrolkan.

Sekalinya punya teman ngobrol yang asik, saya malah dijerumuskan ke dunia gibah. Dosa, iya. Bikin ketagihan, iya.

Akhirnya saya cari teman ngobrol di dunia maya dan menemukan kenyamanan disana. Selain karena punya kecocokan minat, ngobrol dengan teman-teman online bisa terjadi kapan saja tanpa harus janjian bertemu.

Nah, dari obrolan-obrolan itu selalu muncul ide-ide segar. Saya biasa mengulik semua obrolan dan mengubahnya menjadi sebuah tulisan. Hal-hal yang menyangkut ide bisa saya dapatkan dari sekedar ngobrol ngalor ngidul di sebuah chat atau saling komentar di media sosial.

Tapi tidak selamanya saya mendapat obrolan yang pas dengan teman online. Terkadang feedback antara saya dengan lawan ngobrol bisa memicu debat. Lagipula, obrolan hanya terjadi jka ada topik yang dianggap menarik. Jika tidak, obrolan itu tidak akan terjadi.

Cara lain yang paling menyenangkan sebetulnya mendengarkan obrolan orang lain. Mungkin saya jadi tidak ikut terlibat dalan satu obrolan, tapi saya tetap mendapat insight yang besar. Itu yang sering saya rasakan selama ini. Sering terinspirasi dari hasil menonton obrolan orang lain.

Saya menonton banyak acara talkshow di youtube. Ditambah mendengarkan podcast di Spotify. Dari dua platform itu saya menyebutnya sebagai "teman" ngobrol. Walaupun saya tidak ikut berbicara, tapi saya bisa mendapat pemikiran baru dan wawasan baru tentang hal-hal yang sebelumnya tidak saya ketahui.

Saya tidak akan tertarik dengan isu-isu seperti mental health, insecurity, anxiety disorder, atau body shaming kalau seandainya saya tidak mengikuti youtubers dan podcasters yang menjadikan topik itu sebagai konten.

Kalau saya mengobrol dengan teman di dunia nyata, kemudian saya ajak mengobrol tentang isu-isu tersebut, sebagian masih banyak yang tidak peduli. Saya sangat memaklumi karena saya tahu sebagian dari mereka tidak punya referensi untuk mengangkat isu itu ke tongkrongan.

Masalahnya, mereka tidak tahu akses untuk mendapat informasi tentang isu-isu krusial tersebut. Padahal, media atau platformnya sudah ada. Kita semua punya smartphone, internet dan segudang aplikasi yang bisa download gratis.

Tokoh atau orang-orang yang membahas soal isu-isunya pun sudah banyak. Sekarang tinggal bagaimana mereka mau apa tidak meluangkan waktu atau mengurangi main games untuk mencari konten-konten berfaedah.

Setelah tahu, tugas selanjutya apakah kita mau memberi tahu kalau di platform youtube dan podcast ada channel yang mengangkat isu-isu menarik yang bisa meningkatkan literasi.

Saya mencoba memperkenalkan dan merekomendasikan channel youtube yang bagus ke teman saya. Kadang saya share podcast yang bagus dari spotify ke instagram.

Itu dilakukan sebagai cara untuk menyebarkan luaskan referensi baru agar mereka tertarik dengan topik yang agak berat. Bukan sekedar berat, tapi bisa jadi asupan gizi bagi pikiran kita yang kebanyakan di isi informasi tidak jelas dan gosip unfaedah.

Bagi saya literasi bisa ditingkatkan bukan hanya dari membaca, tapi lewat hal-hal yang lebih mudah di jangkau seperti halnya youtube dan podcast. Sebab saya yakin dua platform tersebut bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya bukan hanya untuk sarana hiburan, tapi edukasi yang berisi.

Kalau suatu saat banyak orang-orang tertarik dengan topik-topik yang krusial, tentu harapan kita kedepannya bisa mengurangi angka gibah di indonesia.

Jadi bukan saja kemiskinan yang harus dikurangi. Kekurangan sumber literasi juga perlu dikurangi. Sehingga nantinya manusia-manusia itu berkumpul, yang dibahas bukan gibah lagi, tapi diganti dengan obrolan yang agak berbobot.


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.