Betapa Mengerikannya Filter Bubble

Filter gelembung

Sudah lama saya mau buat artikel seperti ini. Tapi selalu gagal. Alasannya antara tidak sempat dan malas. Alasan lainnya, saya selalu memunggu momen yang tepat. Saya berniat ingin mengaitkan topik ini dengan pilpres 2019.

Tapi karena saat pilpres kemarin saya sedang sibuk-sibuknya dengan project nulis yang lain, akhirnya momen pilpres keburu berakhir. Baru kali ini saya sempat-sempatkan waktu.

Kali ini saya akan membahas tentang filter bubble atau dalam bahasa indonesia bisa berarti filter gelembung, gelembung tersaring atau apapun namanya karena Istilah terjemahannya memang banyak.

Bagi kalian yang belum tahu, filter bubble merupakan sebuah algoritma dimana segala hal yang kita lakukan di internet, entah itu di search engine atau media sosial, semuanya direkam dan diamati.

Kemudian, algoritma akan membaca kebiasaan-kebiasaan kita, apa saja yang kita lakukan di dunia maya. Lalu output-nya mereka jadi bisa memprediksi kira-kira konten apa saja yang kita sukai. Lalu, algoritma pun akan lebih sering memunculkan konten-konten yang kita sukai pula.

Saya kasih contoh apa yang terjadi dengan iklan yang kita jumpai di internet. Ketika kita sering cari-cari informasi seputar motor di Google, maka suatu hari, ketika kita buka sebuah web atau blog, disana akan muncul iklan-iklan motor atau hal-hal yang berkaitan dengan benda tersebut.

Itu tergantung juga seberapa sering kita melakukan searching tentang motor di internet. Iklan semacam itu juga berlaku pada iklan yang muncul di youtube, facebook, twitter dan lain-lain.

Coba kalian lalukan sedikit eksperimen. Perhatikan iklan apa saja yang sering muncul ketika kita bukan web/blog, facebook dan youtube?

Kalau yang sering muncul adalah iklan seputar games, smartphone, dan make-up, ada kemungkinan kita pernah atau sering mencari artikel/video yang berhubungan dengan tiga hal itu.

Atau, jangan kaget kalau kalian sering melihat iklan-iklan dewasa seperti iklan kondom atau muncul iklan wanita berpakain terbuka. Ada kemungkinan kalian sering searching hal-hal yang berkaitan dengan rating 18+. Nah loh, jadi ketahuan kan kelakukan bejat kalian! Haha.

Itu baru berlaku pada iklan. Yang lebih ekstrim sebenarnya filter bubble yang berjalan di media sosial. Karena pola pikir dan sudut pandang kita akan terpengaruh oleh filter bubble yang muncul di media sosial.

Contoh yang paling tepat untuk memggambarkan dampak filter bubble adalah fenomena cebong dan kampret. Kenapa istilah dua hewan ini muncul? Salah satu sebabnya karena pengaruh filter bubble tadi.

Loh kok bisa kayak gitu? Begini saudara-saudaraku.

Misal, kalau kita sering ngelike postingan facebook yang pro-prabowo, kemungkinan besar postingan-postingan yang akan terus muncul di linimasa/beranda facebook adalah postingan yang pro prabowo juga.

Tentunya postingan yang pro prabowo akan menulis hal yang baik-baik tentang prabowo. Sedangkan yang jelek-jeleknya tidak pernah dimunculkan. Lalu, pola pikir kita akan menyamakan persepsi sesuai dengan postingan yang sering kita baca. Dan kita pun akhinya jadi kampret.

Sama halnya jika kalian sering like akun-akun facebook yang pro Jokowi. Secara otomatis, timeline/beranda facebook kita akan dipenuhi oleh postingan yang memuji Jokowi saja, sedangkan yang membicarakan kekurangan Jokowi akan tidak terlihat. Jadinya, kita pun akan condong jadi seorang/seekor cebong.

Dampak buruk yang bisa ditimbulkan jika kita terus terjebak dalam filter bubble adalah kita sebagai masyarakat awam jadi tidak bisa berpikir objektif. Kita tidak bisa melihat kasus-kasus politik secara adil. Padahal, banyak sisi dalam politik yang sulit dibedah kebenarannya.

Karena yang menurut cebong benar, belum tentu menurut kampret benar. Dan yang menurut kampret salah, belum tentu dianggap salah oleh cebong.

Sebetulnya, algoritma filter bubble ini cara kerjanya cukup rumit. Tapi contoh diatas adalah contoh sederhana yang lebih mudah dipahami.

Jika ditinjau lebih dalam lagi, dampak filter bubble ini sangat mengerikan. Ada kasus dimana pengguna media sosial sering tertipu oleh hoax karena kebiasaanya sering nge-like dan berinteraksi dengan akun-akun menyebar hoax. Akhirnya yang muncul di facebooknya hampir semua postingan dari akun-akun penyebar hoax.

Algoritma filter bubble sebetulnya diciptakan untuk tujuan baik, yaitu untuk memberikan konten yang paling kita sukai. Bahkan seperti yang saya sebutkan di awal, filter bubble diciptakan agar sebuah perusahaan yang memasang iklan di internet dapat secara akurat menyasar target konsumen yang di inginkan.

Tapi akhirnya yang terjadi sekarang, filter bubble jadi punya sisi gelap yang bisa menghancurkan pengguna media sosial. Next time, saya mungkin akan memberi beberapa cara untuk menghindari atau minimal mensiasati dampak negatif dari filter bubble ini. Ditunggu saja.

Foto: choosetoencrypt.com

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.