Kita Sang Penikmat Politik

Menikmati politik
Suruput kopi dulu gais, biar ga tegang..
Permasalahan politik yang tampil di media massa bukan hanya memperlihatkan situasi politik yang sebenarnya. Tetapi juga jadi bahan obrolan penting bagi masyarakat.

Masyarakat sebagai penikmat politik punya segmennya tersendiri. Ini sama seperti penikmat infotaiment yang segmennya menyasar kaum milenial yang suka ngebacot dan ibu-ibu yang senang bergibah. Sedangkan politik, segmennya lebih luas dari itu. Dari aki-aki peot sampai bocah ingusan merupakan bagian dari konsumen politik kekinian.

Setiap orang pasti punya gayanya sendiri dalam menikmati huru-hara politik di negeri ini. Tak terkecuali dengan saya. Meski sangat tertarik dengan politik, saya hampir tidak pernah lagi menonton acara debat-debat politik. Saat debat pilpres kemarin, saya hanya nonton sekali di awal-awal, itu pun tidak sampai selesai.

Begitu pun dengan acara sejenisnya, seperti Indonesia Lawyer Club (ILC) dan Mata Najwa. Saya sampai lupa, kapan terakhir kali saya menonton acara tersebut. Sebab sebagai penikmat politik, saya lebih suka mengamati perkembangannya via berita mainstream dan media sosial.

Banyak media merangkum keseluruhan isi debat lewat meme dan infografik. Itu jauh lebih praktis bagi orang-orang seperti saya yang malas nonton acara debat-debat bertema politik di televisi.

Saya pun biasanya mendapat referensi tambahan dari tweet atau postingan Facebook. Tentunya agar tetap objektif dan tidak masuk gelembung bias, saya biarkan dua kubu pendukung (cebong dan kampret) memenuhi timeline media sosial saya, tanpa saya block atau hide. Saya hanya mengamati, ya sesekali berkomentar.

Alasan saya malas nonton debat politik, terutama debat capres kemarin adalah karena sejatinya nonton atau tidak nonton, itu tidak akan mempengaruhi pilihan politik saya.

Jadi sebagus apapun capres A berdebat, kalau sejak awal saya sudah mejatuhkan pilihan saya pada si B, yaa sampai hari pencoblosan pun saya akan memilih si B.

Bukan karena saya fanatik, tapi soal track record yang tidak bisa dibohongi. Sejak KPU meresmikan 2 pasang calon presiden di Pilpres 2019,  saya sudah tahu akan dibawa kemana preferensi politik saya ini.

Kecuali jika kalian adalah seorang swing voters yang masih bingung dan belum menentukan pilihan politiknya. Debat politik sangat wajib ditonton.

Namun kenyataannya ada sebagian orang yang merasa punya banyak waktu untuk nonton debat, meskipun dari awal sudah tahu mau mencoblos siapa.

Argumentasi setiap pasangan calon presiden dianggap sangat penting di dengar secara live. Kebanyakan beralasan hanya ingin melihat capres pilihannya tampil, lalu mentertawakan semua omongan lawannya. Itu tidak salah sebenarnya. Hanya saja kurang kerjaan.

Disaat orang-orang riuh nonton debat capres, kala itu saya sibuk menghatamkan buku-buku yang belum saya baca. Ditambah menonton beberapa film yang sudah saya download. Lebih-lebih lagi, saya punya banyak waktu luang untuk menulis. Jauh lebih produktif daripada nonton debat capres. Ria banget kan saya?

Nah, Bagi penonton setia acara debat-debat politik, momen unik yang terjadi usai selesai acara adalah momen gontok-gontokan. Dua kubu sama-sama melempar umpan. Untuk kemudian berakhir memanas lewat debat kusir yang tidak ada ujungnya.

Ibarat nonton tinju, kalau jagoannya menang, mereka senang. Kalau jagoannya berhasil menampol serangan-serangan lawan, mereka teriak-teriak kegirangan.

Tapi kalau kalah, mereka kecewa. Padahal kalau dipikir-pikir, pertarungan tinju bagi penonton, hakekatnya cuma hiburan semata. Tidak ada satupun faedah yang bisa di ambil dari nonton tinju. Kecuali teknik-teknik nampol mantan dengan baik dan benar.

Ya buat apa juga cari-cari faedah, toh tinju ya tinju, cuma hiburan di kala waktu luang. Itu sama seperti kalau kita nonton bola atau bahkan nonton ajang pencarian bakat.

Memang selalu ada momen sakit hati bahkan sampai baper jika idolanya kalah. Padahal, sekali lagi, semua tayangan yang ada di televisi, jika kita tarik esensinya, ya cuma buat seseorang terhibur. Selebihnya tergantung pintar-pintarnya kita mau ambil sesuatu atau pembelajaran dari sana.

Dalam politik, kurang lebihnya sama. Politik bisa jadi punya esensi yang lebih berat karena kasusnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Tetapi orang-orang yang uring-uringan, nangis bombai, sampai ngamuk karena capres idolanya tidak menang, bagi saya itu berlebihan.

Sah-sah saja mendukung, mengagumi tokoh politik yang dianggap heroik, namun perlu ada kesadaran kalau dukungan itu tidak akan merubah keadaan.

Orang-orang seperti itu perlu di bangunkan dari mimpinya dan disadarkan pikirannya karena selama ini mereka bukan penikmat politik yang sebenarnya. Mereka hanya dikelabuhi oleh fanatisme buta.

Mereka lupa kalau masa depan hidupnya, keluarganya, tidak ditentukan oleh siapa yang menang, siapa yang kalah. Tapi yang menentukan ya diri sendiri.

Mereka harus sadar kalau politik bukan pertarungan antara hidup dan mati. Tapi soal pertaruhan merebut dan mempertahankan kekuasaan tertinggi. Terlepas dilakukan dengan tujuan baik atau buruk.

Dalam menikmati politik, perlu punya extra kesabaran tingkat tinggi. Harus bisa lebih adem dalam menyikapi permasalahan. Terlebih kita yang masyarakat awam, hanya berperan sebagai penonton, tidak sama sekali terlibat dalam gonjang-ganjing elit-elit di pemerintahan.

Pesan saya, jadilah penikmat politik yang santuy, santai betul. Tetap selow dalam segala situasi dan kondisi agar tidak jadi kaum korek api yang mudah tersulut emosinya.

Foto: bantentribun.id

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.