Dilema Pengusaha dan Hedonisme


hedonisme
Banyak sekali yang mengkritik orang-orang yang hidup hedonis. Tapi percaya atau tidak, setiap orang, termasuk orang yang mengkritik hedonis tersebut juga melakukan prilaku hedonis.

Sebenarnya, setiap orang punya sisi hedonis, hanya saja takaran hedonisnya yang berbeda-beda. Setiap orang punya rasa kecintaan mereka pada kehidupan duniawi dimana tujuan-tujuan kebahagian memang datang dari sana.

Hedonis sering dikaitkan dengan hidup konsumtif. Mendewakan tempat-tempat hiburan, tergila-gila dengan membeli barang yang sesungguhnya kurang perlu.

Tapi dibalik itu, ada pengusaha-pengusaha yang selalu mencari keuntungan dari bisnis yang mereka buat (Agar lebih sopan, kata ‘keuntungan’ boleh diganti dengan kata ‘mencari rezeki’)

Cara-cara seseorang atau pengusaha 'mencari rezeki' ini dengan membuat suatu usaha atau jual beli. Tidak asal menjual, tapi diperlukan teknik marketing yang baik.

Dalam teori kewirausahaan, ada yang disebut mental pengusaha. Di dalamnya terdapat kegigihan, pantang menyerah dan cerdas dalam mengolah situasi bisnis yang ingin dicapai.

Seringkali disadari atau tidak, cara-cara pengusaha dalam mengembangkan bisnisnya tidak pernah mempertimbangan sisi moralitas konsumen. Pada intinya, bisnis adalah mencari keuntungan. Jika pebisnis fokus pada nilai moral yang dianut maka keuntungan tidak akan didapat.

Maksudnya, ketika seorang hidup glamor, pakaian mahal, makanan mewah atau membeli segala sesuatu yang kita inginkan maka itu akan dipandang hedonis. Tapi tahu kah kita bahwa bila dilihat dari sudut pandang pengusaha hal itu adalah baik? Kenapa? Karena pengusaha akan memperoleh keuntungan dari setiap barang yang dibeli dari si hedonis.

Misalnya, ada pengusaha pakaian, lantas ada orang yang hobi belanja pakaian. Bisa saja orang yang hobi belanja itu dipandang hedonis, tapi bagi pengusaha sikap hedonisnya yang sering beli pakaian justru dipandang baik karena semakin sering membeli pakaian maka pengusaha pakaian akan untung.

Bisnis bisa disebut sebagai salah satu sumber hedonisme. Orang terlalu cinta dengan kehidupan dunia, jarang pergi tempat ibadah tapi malah memilih pergi ke Mall atau Bioskop. Jika ada orang seperti itu maka bagi pemilik usaha Mall dan bioskop justru dipandang bagus dan menguntungkan.

Jadi seorang pengusaha atau pebisnis kurang cocok jika harus mengkritik soal hedonisme. Karena di dalam bisnis ada tehnik marketing yang memaksa orang-orang untuk hedonis. Tentu pengusaha tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena selalu ada lingkaran setan yang menghantui alur pengusaha. apa itu?

Didalam bisnis ada karyawan. Karyawan sangat bergantung pada bisnis yang dimiliki pengusaha. Jika pengusaha merugi maka cepat atau lambat karyawan akan dipecat dan tidak memiliki pekerjaan. Jika tidak memiliki pekerjaan otomatis tidak bisa membeli kebutuhan pakaian dan tidak bisa pergi ke temapat hiburan seperti bioskop.

Jika tidak bisa membeli pakaian dan tidak bisa pergi ke tempat hiburan otomatis bisnis pakaian di Mall dan Bioskop akan merugi. jika Mall dan Bioskop merugi perekonomian akan lemah dan perputaran uang suatu daerah akan memburuk.

Pada akhirnya kembali lagi, ekonomi suatu negara tidak akan maju karena daya beli masyarakat yang rendah. Perputaran itu berjalan begitu terus. itulah yang disebut lingkaran setan yang tidak pernah usai. sampai kapan? Entahlah. Mungkin sampai upin-ipin poligami.

Ilustrasi gambar: siradel.blogspot.com

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.