Mencari Keuntungan dari Perselisihan Media Sosial

Sepengetahuan saya, keajaiban sosial media awalnya hanya melahirkan generasi narsis. Orang orang aktif di media sosial, pasang foto tampan, jika tidak punya tampang, mereka memilih pasang foto artis biduan. Cari teman, pacar, atau selingkungan banyak dilakukan di media sosial.

Tapi entah dari mana asal muasalnya tiba-tiba media sosial menjadi ajang untuk adu otak, aduk pemikiran. Setiap orang memposisikan diri sebagai pihak yang benar, lantas memberi tanggapan. Ada yang sopan dan ada pula yang nantang.
image via pixabay.com
Perlu cukup waktu untuk berkomentar atau membalas tanggapan orang lain karena perang jari-jari tangan tersebut memerlukan waktu panjang sampai kedua pihak merasa puas. Namun ini jarang terjadi. Definisi puas disini adalah ketidakpuasan itu sendiri. Sebab 2 pihak yang bertengkar di media sosial seringkali salah satunya harus mengalah dan tidak lagi membalas komentarnya. Akibatnya urat urat syarat jadi kejelimet karena tak kuasa menahan sirkulasi darah ke otak yang naik ke secara mendadak. 

Bisa jadi awalnya perselisahan terjadi semenjak Pilpres 2014. Perselisihan yang harusnya disudahi sejak Pilpres berakhir ternyata merembet sampai sekarang. Penyebabnya bisa jadi dari kekalahan lantas susah move on, dendam kesumat atau merasa ada ketidakberesan yang perlu disuarakan. Tidak cukup mewakili orang besar dan berpengaruh, masyarakat awam yang berasal dari berbagai profesi, latar belakang ikut nimbrung jadi satu.

Ini juga dimulai dari para penguasa yang mengaku menginvestasikan waktu, uang, tenaga dan pemikiran mereka hanya untuk bangsa dan negara, katanya. Lalu dari sini muncul perselisihan kecil yang lambat laun menjadi besar. Walaupun mereka mengaku sama-sama beritikad baik, namun proses dan hasil yang ada tidak selalu baik. Perbedaaan tujuan, visi misi dan ideologi seseorang yang menyebabkan perselisihan selalu ada dan sulit dihilangkan.

Dalam perang di media sosial, akan selalu ada pihak yang dirugikan, namun banyak pula yang di untungnya. Media tentu mengambil keuntungan yang besar dari perelisihan ini. Mereka dapat banyak bahan berita yang tentu berpotensi viral dan menggiurkan dari segi iklan.

Akibat dari perang media sosial, muncul akun-akun media sosial yang khusus digunakan sebagai bentuk dukungan dan pembelaan pada setiap kubu. Di instagram muncul akun @politikcrazyid, @obrolanpolitik dan akun meme-meme politik yang ikut meramaikan pemberitan perselisihan. Tidak kalah akun Seleb, PNS, Pengangguran, para ustad-ustadzah sosmed, sampai anak alay setengah cabe krispy ikut masuk ke dalam lubang perselisihan. Tak ayal, akun instagram merekapun penuh dengan like dan ratusan ribu follower yang barang tentu akan menarik perhatian para endorsement peninggi badan, pembesar penis, atau pembesar payudara. 

Muncul pula ‘cendikiawan’ media sosial yang mengungkap opini, data, fakta yang akan di kupas setajam silet. Ada Jonru yang menjadi pionir politik dari kubu agamis, dari kubu lawannya ada pula Denny Siregar. Muncul juga penulis senior yang ikut terjun dalam perselisihan. Bahkan orang anonimpun menjadi terkenal. Mereka mendapat lahan pekerjaan baru, di undang menjadi pembicara di forum diskusi dan seminar intektual. Ini juga nyambung dengan urusan penyewaan hotel dan gedung serbaguna yang akan melonjak naik dipenuhi permintaan booking tempat untuk diadakannya semintar tersebut.

Portal web dan blogging macam kompasiana kebajiran tulisan dan pembaca yang memberitakan perselisihan itu. Jelas pendapatkan mereka akan naik. Tayangan ulang Mata Nazwa atau ILC di Youtube yang sudah di monotize dengan iklan adsense membawa keuntungan yang lebih besar karena ketertarikan orang-orang akan perselisihan.

Warung kopi dan angkringan jauh lebih ramai karena pelanggaran lebih suka berlama lama membahas pemberitaaan yang viral lewat sebuah perselisihan yang tak kunjung usai. Sebegitu menggiurkannya bisnis perselisihan ini sampai menyebar hoax dan SARA pun ikut kebagian jatah lewat pekerjaan buzzer atau penulis bayaran. 

Semua yang terjadi sekarang ini lahir dari kebebasan berpendapat. Lebih tepatnya, kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Perselisihan hanya menguntungkan pribadi dan kelompoknya masing-masing, bukan keuntungan bangsa dan negara.

Bayangkan, mau tidak mau, suka tidak suka inilah yang terjadi. Bisnis ternyata bisa dibentuk dari apa saja, bukan sekedar pada sektor dagang dan jasa yang klasik. Entah kita harus sedih atau bahagia namun mungkin saja sektor bisnis perselihan ini sedikit membantu memajukan perekonomian sekelompok orang-orang indonesia. Perselisihan jadi produk bisnis yang dari daun sampai akarnya bisa menghasilkan pundi-pundi materi.

Coba bayangkan jika indonesia ini adem ayem saja, tidak ada yang namanya perselisihan seperti yang terjadi sekarang, Indonesia akan dipenuhi oleh kaum alay chili-chilian saja (jadi kurang variatif). Mereka semua, yang ikut andil dalam lubang perselisihan ini patut bersyukur karena lewat jalan inilah mereka bisa makan dan bertahan hidup dibalik kejamnya dunia.


7 komentar:

  1. Bener banget sob dari pada narsis gak jelas mendingan cari keungtungan dari media sosial dengan cara yang benar dan usaha sendiri.

    BalasHapus
  2. Mudah-mudahan Indonesia ini segera mendapat jalan keluar yang baik.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. iya mudah mudahan aja

    BalasHapus
  5. hehe..
    perselisihan itu kan untuk menstabilkan perdamaian gan...

    BalasHapus
  6. Wah parah kalo smpe dimanfaatin buat hal yg negatif

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.