Yang Harus Dilupakan dan di Tanam dalam Ingatan


Sejak dulu, saya tidak pernah antusias dengan yang namanya pergantian tahun.
Sebuah tahun tidak lebih dari sederet angka yang berganti sesuai dengan alurnya dan itu tidak berpengaruh pada bagaimana kita bekerja. Kehidupan akan tetap berjalan seperti biasanya.

Tahun ini, tahun kemarin, atau tahun depan adalah perbedaan waktu yang polanya berulang-berulang. Hal yang lebih penting dari semua itu, bagaimana saya bisa lebih giat untuk terus meng-upgrade diri dan bisa memaknai hari-hari.

Walaupun saya tetap merayakan tahun baru 2020, tapi saya lebih melihatnya sebatas perayaan yang bersifat seremonial saja.

Seringkali saya melihat diri saya di masa lalu. Menyaksikan bagaimana saya hidup di usia remaja. Sepertinya cukup banyak yang berubah dari saya sekarang. Sayangnya, hal itu belum cukup membuat saya menjadi lebih "manusia".

Menjadi saya adalah hal rumit. Banyak hal yang tidak bisa saya ceritakan tentang sisi lain dari diri saya. Itu semata-mata karena belum waktunya. Saya senang berbagi cerita tentang kehidupan. Tapi saya memastikan agar tidak masuk ke ranah yang paling sensitif.

Saya ingin selalu bercerita. Apapun yang bisa saya ceritakan. Kali ini, saya ingin bercerita tentang dua hal penting yang akan saya jadikan catatan kecil--yang nanti bisa jadi kertas pembatas dalam buku kehidupan.

Pertama, ada hal yang harusnya saya lupakan.

Ada banyak hal yang sebaiknya dilupakan. Diantara kenangan buruk yang seringkali jadi kabut putih dan menghalangi pandangan saya untuk melihat masa depan.

Begitu juga dengan kenangan baik. Kenangan baik tidak semuanya memberi pengaruh yang baik. Terkadang itu bisa membuat saya terlena dengan mimpi indah yang sekedar mimpi semata.

Kemudian, sebaiknya saya pun mulai melupakan kesedihan yang sudah berlalu. Tak baik bagi saya untuk mendramatisir kesedihan berlarut-larut. Meski sebagian orang begitu nyaman dengan zona itu. Tetapi saya berusaha keluar darinya.

Kedua, ada hal yang seharusnya saya tanamkan dalam ingatan.

Yakni harapan dan juga kasih sayang.

Harapan harus tetap ditunjukan walaupun peluangnya sangat kecil agar saya bisa tetap berambisi mencapai tujuan-tujuan saya.

Tapi saya harus ingat pula bahwa harapan juga punya batasan. Jika sampai kebablasan, harapan akan berujung kekecewaan.

Ada pun kasih sayang.

Ada kasih sayang yang selama ini saya abaikan. Mereka datang dari kasih sayang yang dirawat sejak saya dalam kandungan. Mereka adalah kasih sayang keluarga.

Kasih sayang mereka terkadang terlewatkan. Seringkali prioritasnya terbalik. Yang tersayang lebih sering ditunjukan kepada pasangan yang bahkan belum terikat pernikahan. Sayang, ya, wajar.

Tapi jangan melupakan rasa sayang itu pada mereka yang sudah menyayangi saya jauh sebelum mengenal seseorang yang sekarang.

Saya baru menemukan kesadaran tentang rasa sayang itu ketika ibu saya di vonis terkena stroke.

Saya benar-benar baru mau peduli pada rasa sayang itu setelah cobaan demi cobaan menimpa keluarga saya. Memang sudah terlambat. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?

Rasa sayang dari orang yang selama ini di nanti-nanti, masih bisa menyakiti. Tapi kasih sayang keluarga yang sudah pasti, kenapa harus menunggu untuk terus menyayangi?

Sepanjang waktu, saya akan terus merekatkan catatan kecil ini dalam benak saya. Saya akan berjuang untuk melupakan apa yang harusnya saya lupakan.

Dan saya akan mengingatkan tentang rasa kasih sayang. Begitu juga tentang harapan. Keduanya pantas saya tanamkan dalam ingatan.

Saya sadar, tidak mudah untuk menjalaninya. Akan selalu datang halangan. Namun itu bukan masalah yang besar. Sebab pada akhirnya hidup ini semua tentang pilihan.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.