Kehidupan Sebelum Bucin

Kehidupan sebelum bucin

Silvi mulai terbuka soal kehidupan asmaranya. Setelah curhat panjang lebar di chat, ia meminta bertemu dengan saya. Katanya lebih enak curhat face to face.

Saya pun menyanggupinya. Kemudian kami bertemu di foodcourt yang berlokasi di sebuah Mall yang tidak jauh dari rumah saya.

Dengan sigap, Silvi bercerita tentang kedekatannya dengan seorang laki-laki di kampus. Dengan mimik serius, ia menyebut kisah asmaranya sebagai "masa mengambang".

Ngomong-ngomong soal mengambang, yang ada di pikiran saya cuma tai yang sering terlihat hanyut di sungai-sungai kotor. Itu menjijikan memang. Tapi ya kalian wajib melihat sendiri fenomena ajaib itu suatu hari nanti.

Masa mengambang ini merupakan posisi dimana kehidupan asmara Silvi tidak sesuai ekspetasi kebanyakan orang. Silvi menyadari betul ketidakberuntungan dirinya soal percintaan.

Ia melihat sendiri bagaimana sebagian temannya beruntung, melakukan pendekatan dengan lawan jenisnya dengan lancar jaya.

Meski ada percikan-percikan malu-malu, deg-degan, tidak bisa tidur, tapi semua itu jadi bumbu-bumbu asmara yang katanya 'kangenin'.

"Makanannya udah dateng, mending makan dulu vi. Laper gua, hehe." kata saya.

"Ya udah,"

Kami menyantap berbagai makanan. Dari Chicken teriyaki, Lumpiah goreng, Soto Betawi, Banana Cheese Cake, dan dua gelas jus jeruk. Sambil 'ngahuap', Silvi terus curhat dengan tenang. Mungkin dia pikir saya mamah dedeh.

Silvi bilang, mungkin ini pertama kalinya ia begitu serius menghadapi laki-laki yang ia suka. Maksudnya, selama ini ia tidak pernah berpikir untuk punya pasangan dengan pertimbangan yang sangat matang.

Dulu, ketika ingin punya pacar, ia hanya berpikir 'oh dia ganteng' dan secara kebetulan laki-laki itu tertarik juga. Kemudian mereka tukeran nomor, chat sekian bulan, nge-date tiap malam minggu dan jadian. Selesai.

Keliatannya tidak ada hambatan yang memusingkan. Silvi memang gadis cantik. Jadi tidak sulit baginya untuk mendapatkan pasangan. Tapi sekarang, semakin dewasa, pertimbangan mencari pacar dan proses menjalaninya tak semudah membalikkan telapak kaki.

Silvi tahu, usianya tidak se-muda anak SMP akhil baligh yang ke Indomaret saja minta di antar.

Tapi di rentan usianya yang sudah menginjak 21 tahunan ini, sudah cukup baginya untuk memikirkan hubungan yang tidak sebatas 'jalani aja dulu', tapi sudah masuk ketahap 'pacaran mau sampai kapan?'. Lalu berlanjut ke persoalan masa depan pernikahan.

"Ini lucu," katanya.

Silvi memperbaiki duduknya.

"Kenapa?" tanya saya.

"Gak papa, pegel aja dari tadi duduk terus,"

"jangan-jangan ambeien lu ya?"

"bukan! Bisulan bambang, puas!?"

Silvi melanjutkan ceritanya. Ia bercerita kalau dirinya telah di "kompori" oleh gebetannya sendiri. Ia merasa seperti dipaksa untuk berpikir "dewasa".

Awalnya ia merasa "masih kuliah ngapain mikirin kawin, kuliah aja dulu yg bener. Emang kalo lu kawin, istri dan anak lu nanti mau makan apa toh after kuliah aja lu belum tentu dapet kerja!"

Ya, Silvi skeptis dengan masa depannya sendiri. Itulah kenapa masalah pacaran serius itu bukan sesuatu yang paling logis untuk saat ini.

Tapi bukan berarti kali ini ia ingin menjalin hubungan cuma main-main. Ia percaya bahwa hubungan yang baik itu dijalani serius sampai sepasang cincin tersemat dalam jari tangan.

Yang jadi masalah baginya, sang gebetan terlalu utopis mempermasalahkan soal masa depan. Meski begitu, ia tidak terlalu mempersalahkan soal pola pikir gebetannya.

Ia anggap dia sosok laki-laki dewasa meski tidak realistis. Kemudian satu hal yang lebih penting sekarang adalah proses pendekatan yang ia sedang sangat usahakan.

Sebab prosesnya itu yang jauh lebih sulit di awal. Dan belum tentu juga ia berhasil mendapatkan 100% hati sang gebetan. Terlebih dengan banyak ketidaksamaan antara dia dan doi.

Sampai hari ini, terhitung sudah lebih 4 bulan Silvi melancarkan serangan asmara padanya. Progresnya, kata dia, agak lambat.

Tapi masih tetap berjalan sedikit demi sedikit. Namun progres yang tidak lancar jaya ini membuat dirinya makin ragu untuk bisa secara official menjadi kekasihnya.

Silvi pun berpikir untuk segera mundur saja. Terlebih ia juga baru sadar kalau dirinya mulai terjangkiti virus bucin stadium 3.

Dulu ia pernah berkelakar soal bucin itu tai, bangsat, dan laknat. Tapi ia sendiri sekarang yang menjadi pelaku bucin itu sendiri.

Hal yang paling Silvi sesali adalah banyak hal dari hidupnya berubah ketika akhirnya kebucinan itu merasuk dalam pikirannya. Ia meninggalkan banyak aktivitas produktif.

Setelah bucin pada gebetannya, ia merasa terkuras produktivitasnya hanya untuk melakukan segala hal untuk membuat dirinya spesial di mata gebetan.

Ia meluangkan terlalu banyak waktunya untuk memikiran doi, serta mengatur strategi agar dirinya bisa terus berjumpa dengan sang gebetan.

Sambil memasang wajah muram durja, ia mengatakan, "Serius, gua rindu kehidupan sebelum bucin!"

Uniknya, menurut saya, Silvi sadar betul kalau dirinya bucin. Padahal setahu saya bucin itu sama seperti orang yang terhinoptis.

Orang yang terkena hipnotis tidak mungkin sadar kalau dirinya sedang di hipnotis. Atau analogikan yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan Silvi sekarang, dia seperti seorang pecandu rokok yang berusaha berhenti dari kecanduannya itu.

Ia tahun menjadi bucin itu berat, lebih berat dari menahan rindu Milea kepada Dilan. Tapi dengan serius, ia memohon pada saya untuk keluar dari perbucinan ini. Meski ia tahu itu tidak mudah, namun jalan menuju manusia yang anti bucin masih terbuka lebar.

Saya katakan padanya, "Oke, kalau gitu kita mulai,"

"Mulai apa?" tanya dia.

"#MulaiAjaDulu Toko.. Pedia.."

"Anjeng, malah iklan!"

"Haha, sorry-sorry. Katanya lu mau move on dari bucin, gimana si,"

Silvi tersenyum dan berdiri dari kursinya, "Oh iya iya. Oke deh, kita mulai dari mana?"

"Kita mulai tahap pertama, yaitu bayarin semua makanan yang ada di meja ini, oke?"

Bersambung..

Foto: youtube/anti bucin-bucin club

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.