Stereotipe Pria Indonesia Soal Asmara

Streotipe pria indonesia soal asmara
Soal asmara, sebagian wanita punya pemikiran yang terlalu melompat-lompat. Yang jomblo, ingin punya pasangan. Yang punya pasangan ingin menikah. Tidak sedikit juga wanita sudah terbayang suami idaman mereka akan seperti apa, anak berapa, tinggal dimana, kerja apa, gajinya berapa, padahal calon pasangannya saja tidak ada.

Sebagian wanita mungkin punya proyeksi masa depan yang visioner. Tapi tak cukup ahli dalam menjaga realitas yang ada hingga tak berpikir proses untuk mewujudkan itu semua sangat berat.

Sedangkan sebagian besar pria ada yang pemikirannya lebih kompleks. Tidak mudah bagi pria 'dewasa' untuk menentukan pilihannya. Bukan cuma memilih 'asal cantik' tapi banyak pertimbangan yang mesti dilakukan.

Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah, mereka harus memikirkan bagaimana caranya mendapat kerja, dapat penghasilan cukup. Itupun kalau berhasil, kalau tidak, ya jadi pengangguran sementara. Nganggur bisa jadi artinya jauh dari kehidupan cinta karena apa-apa sekarang butuh biaya.

Masih beruntung kalau orang tuanya tergolong keluarga yang sangat berkecukupan, apalagi punya orang dalam di perusahaan. Soal uang jajan untuk memenuhi ke-bucin-an dirinya dan sang kekasih tak jadi persoalan. Soal kerjapun sudah dapat jaminan. Kalau sudah tidak kuat ingin nikah, biaya resepsi dan tetek bengeknya sudah di tanggung keluarga.

Terkadang ada pula pria berpikir kekanak-kanakan, sama sekali tidak punya rasa komitmen dalam berhubungan. Hanya bisa mengeluarkan jurus-jurus rayuan dan janji-janji serius, nyatanya cuma isapan jempol belaka. Sebab mereka masih ingin menikmati hidupnya tanpa kekangan wanita.

Wanita bisa saja dituntut untuk bekerja setelah kuliah. Menambah penghasilan untuk kebutuhan keluarga. Tapi tetap tidak sebagai prioritas utama. Semua bisa diatasi dengan jalan pernikahan. Setelah menikah, wanita bisa berhenti bekerja, kembali ke dapur, jadi ibu rumah tangga dan suaminya yang jadi peran utama memenuhi kebutuhan finasial.

Di indonesia, kehidupan asmara peia sangat berat. Stereotipe laki laki negeri ini terlalu heroik. Hampir semua harus di tanggungnya. Dari masa-masa PDKT sampai jenjang pernikahan. Dari soal traktir makan, ngajak jalan, sampai biaya resepsi tunangan. Sebagian besar laki-laki di tuntut sebagai inisiator.

Sedangkan sebagian wanita cukup mengikuti apa yang jadi kehendak pasangannya. Memenuhi kebutuhan biologisnya sebagai istri dan memerankan tugasnya sebagai ibu.

Berbeda dengan negara lain, misalnya Jepang dan Amerika dimana hal-hal yang berhubungan dengan 'siapa yang mulai duluan' tidak harus dibebankan pada pria. Disana wanita bisa dengan bebas memegang kendali, lebih luwes dalam mempraktekan jargon Ladies First.

Soal pekerjaan, wanita mungkin jadi pihak yang paling dirugikan. Itulah kenapa muncul gerakan feniminisme yang salah satu orientasinya memberikan ruang bagi kaum hawa untuk masuk ke beberapa bidang profesi tertentu. Akan tetapi soal asmara, laki laki negeri ini hidup di atas ketidakseimbangan.

Itulah kenapa saya mendukung gerakan feminisme di indonesia karena gerakan ini bukan saja menjadi medium untuk memenuhi hak-hak wanita saja, tetapi dapat mengurangi beban laki-laki yang di pandang serba bisa. Sebab ada banyak hal di dunia ini yang juga dibutuhkan kerja-kerja wanita sebagai penyeimbangnya.

Bukan bermaksud mengeneralisir tetapi ini hanya hasil pengamatan awam di lingkungan sosial saya yang mungkin subjektif tapi bisa sedikit memberi gambaran umum tentang kehidupan asmara. Mungkin setiap orang punya pengalaman tersendiri dalam menjelajahi lika-liku percintaan. Bisa jadi apa yang Anda alami tidak sesuai dengan realitas saya karena memang tidak akan ukuran tepat untuk memukul rata semuanya.

Foto: facebook.com/sundaekidsillustration

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.