Kenapa Generasi Micin Suka Berdebat di Media Sosial?

Media Sosial awalnya hanya menjadi komunitas bagi kaum alay dan sejenisnya. Namun dimulai ketika orang-orang yang mengaku sebagai kaum intektual, aktivis kebenaran atau cendikiawan tingkat dewa, melahirkan suatu komunitas baru yang lebih berbobot. Mereka merupakan sekumpulan kaum yang suka sekali berdebat.
Popularitas alay tergeser oleh mereka yang mengaku paling kritis, merasa sedang mengungkapkan kebenaran yang hakiki, walaupun nyatanya hanya jadi pahlawan kesiangan. Mereka menjadi anti-pemerintah diluar, sedangkan mereka tak mau berkelit dengan permasalahan di dalam. Mereka mengabaikan bahwa suara dan teriakan mereka belum tentu didengar bahkan hanya jadi tontonan elit-elit politik.

generasi micin yang suka debat di media sosial

Begitu juga dengan sang pro-pemerintah. Mereka megangung-agungkan pemerintahan seolah tanpa dosa. Menutup mata terhadap boroknya kinerja dan mengekspolitasi kebijakan yang biasa saja.

Sosial media kini dijadikan panggung debat untuk meningkatkan eksistensi semu. Argumen si A dibantah oleh argumen B. Argumen B dibantah oleh argumen C. Argumen C dibantah oleh D sampai kembali ke argumen A dibantah oleh si A juga. aneh? Iya, itulah yang disebut kaum overdosis micin. Eksistensi mereka tidak lebih dari sebesar upil naruto.

baca juga: Isu PKI dan Orang Jelek yang Tidak Boleh Berkembang Biak

Apa mereka tidak sadar bahwa perdebatan itu tidak akan mengalami titik temu? Setiap orang itu punya ‘kebenarannya’ tersendiri. Seseorang selalu punya ego yang tidak mau dibatah oleh orang lain. Media sosial telah menjadi panggung bagi siapa saja yang ingin diakui keberadaannya. Namun kita sadar bahwa semua ini tak akan ada habisnya.

Boleh saja berdebat, tapi harus tahu tempat. Dan media sosial bukan tempat yang tepat untuk berdebat. Tidak perlu berdalih bahwa debat ‘micin’ bisa membuat orang cerdas atau bermental baja. Toh faktanya hanya membuat teman sebangsa sendiri bertengkar. Kita berdebat sedangkan mereka yang duduk di kursi penguasa mungkin sedang asik menonton sambil makan popcorn sambil berkata, “bodo amat! emang gue pikirin!?”

Saat ini generasi micin harus mulai belajar menurunkan egonya. Belajar untuk menghargai perbedaan 'paham' dan mengurangi ketergantungan terhadap mbah Google sebagai referensi ke-sok-tahu-an mereka. Serta yang terpenting lebih banyak mengaji, dzikir, sholat malam, memohon ampun sama yang diatas daripada berdebat tidak karuan.
  
Untuk sementara ini, justru keberadaan kaum alay sedikit lebih bermartabat. Mereka seperti es batu yang mendinginkan kepala generasi micin yang kepanasan karena kalah debat. Generasi micin memang perlu banyak belajar dari kaum alay. Karena walaupun dianggap mental ingusan, setidak mereka tahu bahwa debat kusir merupakan kesia-siaan belaka.

image by pixabay

4 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.