Tren Jokowi: Kekuatan Media Membentuk Opini

jokowi
via www.rmol.co
Sosok Presiden ke-7 kita saat ini memang berbeda dengan presiden sebelum-sebelumnya. Terlihat simpel dan tidak kaku. Semua itu disampaikan dengan sikapnya terjun langsung mendekati masyarakat, mengobrol dan menyalami warga yang ingin bertemu bahkan berfoto bersama sampai Paspampres kerepotan.

Tidak mengherankan bila julukan presiden bagi Jokowi dirasa masih kurang. Karena Jokowi bukan saja seorang yang bersikap sebagai orang nomor 1 di Indonesia, namun bersikap sebagai public figure layaknya artis di dunia entertaiment.

sebagai seorang politikus, Jokowi berhasil memanfaatkan media dengan baik dalam menyampaikan pesan-pesannya. Ketika pejabat lain menyampaikan program, ambisi dan keinginannya dengan lisan, berdiri diatas panggung, berorasi dan lain sebagainya. Ia malah terbiasa turun ke jalan menemui warga. Sampai istilah blusukan menjadi ciri khasnya. Ia memberikan gaya politik baru bagi dunia politik Indonesia.

Di masa jabatannya kini sebagai Presiden, Jokowi kembali ber-ulah dengan gaya politik yang anti-mainstream. Dia merambah media non-jurnalis dengan mendokumentasikan seluruh kegiatannya sebagai presiden ke semua akun media sosialnya. Ia pun membuat sebuah channel Youtube dengan memasukan konten-konten tentang sosialisasi program dan memperlihatkan kinerjanya yang berhasil di realisasikan. Bahkan ia beberapa kali membuat konten vlog tentang kesehariannya.

Diluar urusan politik, Jokowi telah menciptakan tren-tren yang---entah disadari atau tidak olehnya--telah menciptakan tren-tren yang hingar bingar dibicarakan oleh banyak orang. Yang paling awal sekali, contohnya dulu saat Jokowi masuk ke Pilgub Jakarta, pakaian kotak-kotaknya mejadi tren. Kemudian jaket bomber yang dipakainya ketika Jokowi menggelar konferensi pers terkait demo 4 November 2016 viral dan menjadi tren jaket yang ditiru banyak orang. Dilanjutkan dengan payung biru, laptop, sepatu futsal sampai dress code celana jeans dan sneakersnya ketika blusukan ke kota Tasikmalaya.

Sebenarnya, tidak ada masalah dengan tren-tren yang ada. Akan tetapi makin kesini, ada respon berlebihan yang (sengaja) dibuat oleh media untuk menciptakan tren-tren tersebut. Media membentuk viralitas melalui respon warganet atau netizen yang bagi penulis tidak cukup mewakili. 

Misalnya, viral sepatu yang dipakai jokowi. Banyak media mengatakan sepatu itu bagus dan banyak dibicarakan oleh netizen, dibuktikan dengan mengutip satu atau dua postingan pengguna media sosial yang mengagumi sepatu jokowi. Padahal, ada ribuan postingan yang berkomentar berbeda. Bisa mengatakan sepatu itu bagus, jelek, biasa aja atau malah membuat komentar nyinyir yang sama sekali tidak berhubungan dengan sesuatu yang sedang viral. Lalu, kenapa yang diangkat media hanya rasa kekaguman netizen terhadap sepatu jokowi? 

Inilah salah satu cara bagaimana media membentuk sebuah opini publik. Media yang memberitakan memang bisa saja tidak menyalahi aturan atau kode etik jurnalistik. Namun penyampaian berita yang tidak cukup mewakili bahwa sebuah sepatu yang digunakan jokowi telah pantas disebut viral.

Kenyataannya, Tidak ada patokan tersendiri bagaimana sebuah tren telah dikatakan Viral. Viral atau tidak kembali lagi pada orang-orang yang mengikuti tren tersebut. Ketika ada 10 orang memuji sepatu jokowi, kemudian media memberitakannya apa layak disebut viral? Belum tentu juga. 

Media selama ini mencari keuntungan tersendiri dari viral-viral yang (sengaja) mereka diciptakan. Cukup mengatakan, ‘berita viral!”, “booming” dan lain sebagainya maka orang-orang akan percaya dan orang yang sama sekali tidak tahu pun akan menganggap berita itu viral.

Penulis kasih contoh lain tentang berita viral. Seperti viralnya PNS cantik dan ganteng. Sebenarnya yang membuat PNS terebut menjadi viral adalah media yang memberitakannya. Bukan karena pengaruh besar dari warganet atau netizen. Media yang beranggapan bahwa banyaknya netizen yang berkomentar atau jumlah followers yang banyak kemudian media langsung menyimpulkan PNS itu viral. Seandainya PNS cantik dan ganteng tersebut tidak diberitakan media, pasti mereka tak akan dikenal oleh banyak orang bahkan sampai diundang di berbagai stasiun televisi.

Peran media disini memang sangat besar dalam mempengaruhi banyak orang. Bila berita viral sengaja dibentuk untuk kepentingan deadline berita maka sifatnya tidak jauh berbeda dengan berita sensasi, berita settingan atau pengalihan isu. Hanya saja subjek yang diberitakan memang nyata tapi dibuat heboh agar dianggap viral.

Tren-tren yang selama ini telah ada, terlepas dari viral-viral Jokowi atau bukan telah membuka mata banyak orang bahwa media bukan saja berperan sebagai penyampai informasi tapi juga bertindak sebagai pecipta dan pendorong sebuah fakta sampai fakta tersebut naik kepermukaan dan diketahui banyak orang. Media adalah pemberi pesan atau informasi yang mudah sekali dipercayai masyarakat. maka seharunya media bisa lebih berhati-hati dalam memberitakan sesuatu. Media mungkin tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Ini kembali lagi soal pembaca atau konsumen berita. 

Sebuah berita tidak akan terus-terusan diproduksi bila konsumen tidak menginginkannya. Sebuah media komersial punya prinsip, dimana ketika permintaan pasar naik maka produksi pun naik. Dimana ketika permintaan konsumen terhadap suatu berita naik, maka tidak ada salahnya bagi media untuk ‘mengeksploitasi’ sebuah berita dan terus-menerus memproduksi berita yang sama. Karena dari segi komersial itu jelas menguntungkan media.






Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.