Doktor Alif

ilustrasi via OLX.co.if
Ketika kami menuruni tangga, dia tak langsung turun ke lantai satu, tapi melipir dulu ke lantai dua, masuk ke gang kecil menuju kamar kecil di ujung koridor. Ah, dia mau ke WC dulu. Aku menunggu saja di ujung tangga.
Diujung sana dia berteriak, “eh Lif, ayo!”
“aku tidak mau ke toilet!”
“siapa yang mau buang air? Ayo kesini!”
Di ujung gang itu, setelah melewati WC, dia membuka sebuah pintu kecil. Pintu apa ini? Aku belum pernah tahu. Mungkin ini pintu menuju arah belakang kantor.
Tangannya terangkat ke udara, melambai bagai dirigen. “dengan bangga, aku kenalkan kepada kau, inilah kamar kos terbaik di kawasan ini.” dia menguakan pintu lebar-lebar untuk menunjukan sebuah ruangan yang penuh bundel kertas yang diikat tali rafia bertumpuk di berbagai sudut ruangan yang menyerupai gudang ini. Di sebelah rak tinggi yang dijejali timbunan kertas tergantung sebuah papan nama:”Ruang Kliping dan Arsip Penerbitan.” aku bingung, tidak mengerti.
“jangan bengong begitu kawan. Awalnya karena aku tidak bisa pulang ke rumah Pakde di bogor gara-gara hujan besar minggu lalu. Aku perlu tempat meluruskan badan dan ketemu lah ruangan ini. Jadi inilah kamar yang sudah aku tempati sejak tiga hari yang lalu.”
Aku memicingkan mata dan menggaruk kepala.
“sementara saja kok. Sampai aku dapat kamar kos yang sebenarnya.”
“maksudnya, kau menginap dan tinggal di kantor, di ruangan separuh ruang kliping separuh gudang ini?”
Dia mengangguk cepat seperti menikmati kebingunganku.
“sudah minta izin Mas Aji?”
“ah, kenapa harus bilang-bilang orang lain. Selama tidak ada larangan, apa salahnya? Satpam dan OB juga tahu aku disini. Tidak ada yang protes. Oke-oke aja.”
Sejenak kemudian, dia merogoh ke balik sebuah rak dan menarik sebuah plastik besar berisi bantal dan guling, serta selimut. “ini perlengkapan tidurku. Karena kaum malam ini tamu di kosku, kau aku kasih guling, aku pakai bantal. Selimut tidak perlulah, disini cukup hangat.”
Sehelai sarung diraihnya dari dalam sebuah kardus mi instan. Lalu dengan gaya muka serius, dia sampirkan sarung itu ke leherku. Bagai seorang pembaca doa di pernikahan, dengan suara khidmat dia berkata, “Alif Fikri, dengan ini aku resmikan dan anugerahi kau dengan gelar doktor.” geliginya tersembul lalu suara tawanya yang terpingkal-pingkal memenuhi ruagan.
Doktor? Doktor apa? Aku bingung, menurutku tidak ada yang lucu sama sekali. Mungkin selera humornya kelas rendah. Selain itu dia suka egois menikmati humornya sendiri. Tidak peduli orang lain merasa itu lucu atau tidak. Aku coba juga bertanya, “hoi, kenapa kau tertawa?”
“kau ini tidak mengerti, kau sudah jadi doktor. Kependekan dari ‘mondok di kantor’”. Kau doktor kedua setelah aku,” katanya mengakak keras lagi.
“doktor,” gumamku pada diri sendiri. Boleh jugalah julukan ini, walau aku belum tentu akan tinggal dissini bersama Pasus.
Aku menginap lebar dan langsung menulari Pasus. Sudah mejelang tengah malam. Pasus mengucek matanya dan menggelar dua sajadah berdampingan. “ini dia ranjang indah kita, bayangkan saja tebah seperti kasur bulu angsa atau spring bed di hotel. Kau boleh pilih di atas sadajah ini atau sajadah itu.”
Aku tersenyum sendiri seperti deja vu. Ini duniaku dulu di PM. Tidur hanya berkalang sadah dan sarung. Tidak dinyana, aku merantau ke Jakarta pun akan begini. Aku mengambil sadajah hijau sebagai alas dan guling sebagai penghalang leher. Lampu ruangan kami padamkan dan dalam sekejap aku melayang. Di kamar kos baruku. Antara gudang dan ruang kliping. Malam ini, aku resmi bergelar doktor.
Setelah dua minggu menjadi doktor, aku menerima gaji pertama. Untuk pertama kali dalam hidup aku mendapatkan gaji yang langsung di transfer ke rekeningku. Dalam sekejap Rp 1.250.000 habis aku bagi-bagi, untuk Amak, adik-adik, utang, biaya makan, dan membeli sepotong pantolan dan kemeja.
Hari itu pula, sebelum tidur di kos ruang arsip, dengan resmi aku cabut surat Amak dan adik-adik yang telah kuselipkan di buku harianku sejak berbulan-bulan lalu. Hari ini aku tunaikan kembali tugasku yang sempat tertunda sebagai anak laki-laki dan kakak teruta: membantu mereka secara finansial, sesuai kemampuaku.


Sejak sekamar dengan Pasus, hidupku rasanya lebih ringan. Biaya kosku menjadi nol, tidak ada uang transfortasi kantor dan rumah, dan aku kini selalu bisa hadir di kantor kapan saja, 24 jam, 5 hari dalam seminggu. Hanya pada akhir pekan aku menginap di kos Uda Ramon, sedangkan Pasus pulang ke pakdenya di Bogor. Selebihnya kami adalah dua doktor belaka.
Perkara makan juga tidak jadi soal. Dapur kami adalah segala macam gerobak makanan yang berseliweran lewat di depan kantor. Aku tinggal melambaikan tangan tiga kibas dari jendela lantai tiga, maka niscaya makanan yang kuminta akan datang ke mejaku. Sejauh ini semua tukang bubur, ketoprak, soto, bakso, dan kawan-kawannya selalu memberikan delivery servive  yang memuaskan. Teh hangat selalu tersedia setiap pagi, berkat office boy kami, Yono yang bergelar Yono the incredible. Jam 7 pagi dia sudah beroperasi di lantai newsroom , sampu disandang, kemoceng di pinggang, dan lap serta ember di tangan. Jika diperlukan Yono juga bersedia memasakkan mi telor buat kami. Sedikit uang tip membuat dia bersiul-siul panjang.
Malam-malam ketika akan tidur, aku tinggal mencomot buku yang ingin kubaca sebagai pengantar tidur dari perpustakaan redaksi. Rasanya seperti memiliki perputaskan pribadi. Begitu terus aku lakukan setiap hari. Dalam waktu sebulan aku sudah menamatkan banyak sekali buku. Kalau bosan, aku baca klikping-kliping yang disimpan berdasarkan klasifikasi di dinding “kamar” tidurku. Kadang-kadang aku bangun pagi dengan kliping dan buku bertaburan di sekeliling alas tidurku.
Kalau aku tidak capek, malam-malam aku bangun dan bersimpuh di sajadah minta kemudahan dalam hidup dan karierku. Di saat khusus berdoa, kadang-kadang aku terganggu oleh linduran dangdut ala Pasus yang meringkuk di balik sarungnya. Dia melindur dalam bentuk bait lagu dangdut terbaru.
Sejak gajian kemarin, tape recorder hitam Pasus sudah berganti CD player. Beberapa kotak CD berserakan di sekitar bantal barunya. Yang paling banyak beraliran dangdut, lalu rock dan terakhir ini aku lihat dia mulai membeli CD Iwan Fals. Sesuai umurnya yang lebih tua dua tahun, selera musiknya juga lebih tua dariku.


Putu, Yansen, Faizal, Hana, dan teman lainnya lama-lama tahu kalau aku dan Pasus sudah jadi doktor. Mereka menertawakan kami sebagai tunawisma profesional. Aku dan Pasus selalu membela diri bahwa ini sementara saja. 
“tau ga kalian kenapa Bill Gates itu hebat sekali ilmu komputer? Karena dulu dia suka menyelinap dan begadang di laboratorium komputer sekolahnya. Ketika orang lain sibuk dengan urusan lain, dia mendalami ilmu komputer sendiri. Siapa tahu nanti kami jadi seperti dia, karena selalu mendalami bidang ilmunya, sampai pakai nginap segala,” kataku membela diri sambil bercanda. Pasus langsung mengiyakan.
“Bill Gates itu kan jago komputer.. Lah kalian, tidur di ruang kliping. Nanti jadi ahli kliping dong,” ejek Faizal. Koor tawa mengikuti komentar Faizal.
“ah, paling kau iri saja kami tidak perlu bayar kos,” balas Pasus sambil nyengir lebar membelas ejekan itu. Dan ejekan itu ditakdirkan tidak bertahan lama. Suatu hari kami harus menyelesaikan laporan lewat tengah malam, hujan turun dengan lebat dan mereka sudah terlalu lelah untuk pulang. “daripada kalian tertidur duduk di kursi, aku undang kalian tidur di ‘kamar’ kami,” ajak Pasus. Dengan muka mengantuk dan mata redup, mereka menerima tawaran Pasus untuk ikut istirahat di ruang kliping Sejak itu “kamar” kami jadi milik bersama.

Namun kebahagian kami ditakdirkan mendapat tantangan. Suatu ketika, di rapat mingguan redaksi, meluncurlah sebuah instruksi dari Mas Aji yang kali ini mengenakan hem putih dan celana hitam. “maaf beberapa hari ini kerja kalian mungkin akan sedkit terganggu karena akan banyak tukang yang lalu lalang. Untuk menambah ruangan bagi karyawan, ruangan kasir kita rombak jadi ruang rapat kecil. Sebagai gantinya, ruangan kasir akan dipindahkan ke lantai bawah, tepatnya di ruang kliping.” aku berpandangan dengan Pasus. Mulutnya komat-kamit tanpa suara, tapi aku tebak artinya adalah “itu kamar kita.” mata Mas Aji memandang berkeliling. Tapi aku merasa, matanya berhenti sebentar ke arahku dan Pasus. “jadi tolong sesuaikan nanti ruang kegiatan kalian.” mungkin dia tahu kami penduduk tetap kantor ini.
“selain itu, kebaikan hidup kalian, wartawan dilarang sering-sering menginap di kantor. Jangan mau tua di kantor. Saya tidak mau ada anak buah saya jadi jomblo karena kelamaan di kantor. Kecuali sedang deadline atau piket.” nah, benar kan? Dia sudah mengendus praktik menginap kami. Pasti dia tahu! Teman-temanku yang lain mengikik kecil di balik telapak tangan mereka.
Sore itu kami tergopoh-gopoh mengemasi semua barang yang kami punya di ruang kliping. Pasus bersungut-sungut memungut kaos kai beraroma ikan asin busuknya dan memasukannya ke dalam ransel. Kami tampaknya tidak ikhlas pergi dari “kamar kos” kami yang sempurna ini.
“aku ada ide. Tapi berbau religius,” kata Pasus dengan raut muka yang mencurigakan.
“ngomong apa sih kau?” tanyaku.
“kita tidak boleh menyerah diusir, dan ini bukan kos-kosan. Ini kantor tau”
Pasus tidak peduli. “bagaimana kalau kita menjadi penjaga rumah ibadah?” tanyanya dengan mata nakal.
“maksudmu?”
“kita jadi marbot alias penjaga musala.”
“aku gak minat,” jawabku membayangkan jadi penjaga mushola di kampungku yang kerjanya menyapu, menabuh beduk, dan berazan. Aku lebih rela bayar kos daripada jadi marbot saat ini.
“eh ini bukan mushola sembarang mushola. Ini mushala terpilih.”

Note: diambil dari novel “Ranah 1 Muara” karya A.Fuadi (hal. 67-73)



Diberdayakan oleh Blogger.